Becak yang terkenal dengan namanya sampai sekarang, becak pada jaman dulu di ciptakan di kota yokohama jepang pada abad 19 tahun 1865 nah tapi bukan orang jepang yang menciptakan becak tersebut melain kan dari orang asli kebangsaan barat, pada saat itu koto yokohama termasuk kota meropolitan dan jepang membuka negrinya untuk orang-orang barat untuk mengenalkan kebudayaan nya.orang-orang barat pertama kali sebagian besar mengenalkan diri di kota yokohama dan sebelumnya yokohama adalah desa para nelayan dan seiring dengan waktu semakin meningkatnya perdagangan internasional melalui kota ini.
Awal mula terciptanya becak
Seorang perempuan dari negara barat tersebut yang bernama Eliza week yang mengalami kelumpuhan pada kaki yang sangat ingin sekali untuk menikmati kota yokohama pada malam hari yang di hiasi oleh indahnya lampu-lampu yang berbahn bakar gas, Eliza week memiliki seorang suami yang sangat mencintainya yaitu benama jonathan goble berasal dari amerika, jonathan sangat mencintai istrinya dan dia mencari akal untuk merancang kereta unik untuk keliling kota yang bertenaga manusia.
Rancangan Goble adalah sebuah kendaraan mirip kereta kecil tanpa atap dan ditarik oleh manusia. Kemudian rancangan itu ia kirimkan kepada sahabatnya bernama Frank Pollay. Pollay kemudian merealisasikan rancangan Goble dibantu oleh seorang tukang besi bernama Obadiah Wheeler. Itulah saat pertama kali “becak kuno” muncul, sebuah kereta kereta kecil yang ditarik dengan tenaga manusia. Orang-orang Jepang menyebutnya Jinrikisha dan penariknya disebut Hiki.
Perjalanan Becak Sampai Indonesia
Ternyata, bukan hanya Eliza saja yang
kemudian menyukai jinrikisha ini. Orang-orang kaya dan bangsawan Jepang
ternyata kepincut juga menyaksikan jinrikisha. Dari situ mulailah
perkembangan jinrikisha menjadi salah satu moda transportasi umum di
Jepang. Peminatnya memang kebanyakan para hartawan dan bangsawan baik
Barat maupun Jepang.
Pada paruh terakhir abad 19 jinrikisha sampai di China dan berkembang pesat di sana. Di China orang menyebutnya Rickshaw.
Sama seperti di Jepang, rickshaw menjadi kendaraan kebanyakan kaum
hartawan, bahkan ada yang menjadikannya sebagai kendaraan pribadi.
Sering kita sekarang ini melihat film-film mandarin yang menampilkan
rickshaw ini. Dari China kemudian rickshaw menyebar ke daerah-daerah
Asia lainnya.
Menurut beberapa sumber, pada dekade
1940-an kendaraan semacam ini menjadi pemandangan yang umum di kota-kota
Asia. Hanya saja rickshaw atau jinrikisha ini tak lagi berpenampilan
dengan dua roda mati dan ditarik manusia. Saat itu modifikasi telah
dilakukan dengan penggunaan ban karet dan tiga roda. Orang yang mengayuh
kendaraan ini berada di belakang kursi penumpang. Bisa dibilang itulah
model becak yang berkembang sampai sekarang.
Kata “becak” sendiri bukanlah
asli dari kata bahasa Melayu-Indonesia. Bahkan bisa dikatakan itu adalah
penyebutan yang salah kaprah. “Becak” adalah pengucapan orang-orang
kita untuk kata bahasa Hokkian “Be Chia”, yang artinya kereta kuda. Bacak sendiri, menurut Sartono Kartodirdjo dalam Pedicab in Yogyakarta: A Study of Low Cost Transportation and Poverty Problems, di
Indonesia telah berkeliaran di jalanan-jalanan kota Batavia sejak
dekade 1930-an. Lalu disebutkan pula dalam Ensiklopedia Nasional
Indonesia, bahwa pada sekitar 1940-an becak juga telah merambah
Surabaya. Memang masih simpang siur kapan pertama kali becak dikenal di
Indonesia (Hindia Belanda). Namun dari keterangan-keterangan tersebut
dapat kita simpulkan bahwa saat itu becak telah diakui sebagai kendaraan
umum. Perkembangan becak sebagai moda transportasi umum terus meningkat
seiring waktu. Bahkan sekitar tahun 1950-an, telah berkembang beberapa
toko yang menjual dan juga bengkel becak. Setidaknya ada tiga “pemain
besar” dalam industri perbecakan kala itu (terutama di Yogyakarta) yaitu
Lei Kiong, HBH, dan Rocket. Ada juga jasa persewaan becak Tetap Jaya
yang terus berkembang hingga pada dekade 1990-an ia meraih kejayaan.
Becak Riwayatmu Kini
Fenomena becak adalah fenomena urban. Ia
lahir dari perkembangan pesat modernitas perkotaan di Asia pada masa
kolonial. Menurut Rebecca Lemaire dalam The Becak: A Re(d)ordered Cycle, perwujudan becak (cycle-rickshaw) dengan tiga rodanya merupakan gejala global yang lahir dari transformasi “becak tandu” (sedan chair) dan “becak tarik” (pull rickshaw, dalam bahasa Jepang disebut Jinrikisha)
di Jepang, sebagai gejala awal dimulainya proses modernisasi
(pemeradaban) perkotaan. Mobilitas dan kepraktisannya menjadikan becak
amat digemari.
Namun pada akhirnya terjadi paradoks yang
tak dapat dihindari, justru karena modernitas yang tak pernah berhenti.
Jika dahulu becak adalah “anak” kemajuan perkembangan dan modernitas kota, maka kini (di beberapa daerah) becak adalah “sampah”
modernitas. Ketika teknologi transportasi terus melesat, becak tak
mampu mengejarnya. Ia pada gilirannya dipinggirkan. Geliat jalanan yang
cepat pesat tak mampu diakomodasi lagi oleh becak yang alon-alon waton kelakon.
Kita lihat saja di Indonesia kita. Ketika
motor-motor dan mobil-mobil berdesak-desakan berebut jalanan, becak
disuruh menyingkir. Fenomena becak sebenarnya adalah juga penampung
tenaga kerja-tenaga kerja tak terdidik yang subur. Ketika kota telah
penuh sesak dengan manusia, becak yang menjadi penyedia “ruang hidup” di
kota dipandang sebagai masalah. Kemampuannya menampung warga urban dari
desa-desa adalah masalah bagi pembangunan kota. Ada juga yang bicara
bahwa bacak adalah pemerasan kemanusiaan. Tidak sepantasnya manusia yang
beradab dan mengerti HAM menghalalkan becak yang menguras tenaga
manusia. ia dianggap memperbudak manusia secara halus.
Becak dimarjinalkan akhirnya. Pemerintah
Jakarta, yang tak mau pembangunan kotanya dikotori telah lama
menyingkirkan becak dari jalanan Jakarta. Pada 1988 keluarlah Perda
nomor 11 yang mengatur secara tegas pelarangan becak berkeliaran di
jalanan ibukota negara itu. Bahkan dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 pasal
29 ayat 1(a) berbunyi, “Setiap orang atau badan dilarang, a. melakukan
usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang
yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya. b. Mengoperasikan
dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya.”
Padahal jika mau lebih adil memahami,
becak memiliki beberapa keunggulan yang bahkan tak mampu dipenuhi moda
transportasi selainnya. Becak adalah moda transportasi umum yang
nirpolusi dan tidak mengotori, mampu melayani secara door to door dan
interaktif dengan penumpangnya, socially acceptable dan mempu
menjangkau hampir semua kawasan urban perkotaan, juga praktis dari sisi
mekanikalnya. Potensi-potensi inilah yang sebenarnya perlu kita
ketengahkan dalam melihat becak.
Terutama dari sisi pariwisata, tampaknya
becak hari ini tak dapat diremehkan. Sama sekali. Lihatlah Yogyakarta
dan Solo yang mempertahankan becak-becaknya. Ternyata becak bukan hanya
membawa isu masalah transportasi yang tidak manusiawi, tapi juga punya
potensi turisme yang sangat prospektif jika dikembangkan dan dikelola
secara total, tidak hanya dipandang secara parsial. Sepertinya Ibu Sud
telah jauh-jauh hari mewartakan hal ini, simaklah kembali lagu di atas.
(Oleh Fafa Firdausi)
Sumber :Haryadi, Blasius. 2011. The Becak Way; Ngudoroso Inspiratif di Jalan Becek. Solo : Metagraf.