adalah alat musik yang terbuat dari dua tabung bambu yang menghasilkan nada beresonansi jika dipukulkan.
Angklung sudah terkenal di Asia tenggara meskipun sebenarnya Anglung berasal dari negara Indonesia dan telah dimainkan oleh Etnis sunda (jawa barat) pada jaman dahulu kala, Angklung berasal dari dua kata yaitu : Angka dan Lung,
Angka yang berarti Nada, dan lung berarti putus atau hilang, yang diartikan keseluruhanya nada yang terputus.
Seiring berjalannya waktu,
Angklung telah menarik banyak perhatian di
dunia internasional. Pada tahun 1938, Daeng Soetigna, dari Bandung,
menciptakan angklung yang berdasarkan tangga nada diatonik, alih-alih
menggunakan tangga nada tradisional pélog atau saléndro. Sejak saat itu,
angklung digunakan untuk tujuan pendidikan dan hiburan, dan bahkan
dapat pula dimainkan bersama dengan alat-alat musik Barat dalam
orkestra. Salah satu penampilan angklung dalam orkestra yang sangat
terkenal ialah pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955. Udjo
Ngalagena, seorang murid dari Daeng Soetigna, kemudian membuka “Saung
Angklung” (Rumah Angklung) pada tahun 1966 sebagai pusat pengembangan
angklung.
Pada perioda Hindu dan Kerajaan Sunda, Jawa Barat, angklung memegang
peranan sangat penting pada beberapa upacara ritual masyarakat Sunda
dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai perantara dalam ritual, angklung
dimainkan untuk menghormati Dewi Sri, dewi kesuburan, dengan harapan
agar negeri dan kehidupan mereka dapat diberkati. Di kemudian hari,
menurut Kidung Sunda, alat musik ini juga digunakan oleh Kerajaan Sunda
untuk penyemangat dalam situasi pertempuran di Perang Bubat.
Angklung tertua yang masih ada sampai kini ialah Angklung Gubrag.
Angklung ini dibuat pada abad ke-17 di Jasinga,Bogor. Pada saat ini,
beberapa angklung dari zaman dahulu masih tersimpan di Museum Sri
Baduga, Bandung.